Masyarakat Aceh dalam menilai atau menghargai sisi kehidupannya selalu diwujudkan dengan perayaan, salah satunya upacara kelahiran. Dimana upacara ini meliputi beberapa tahap baik dari peralatan, tata laksana dan nilai budaya yang terkandung dalam upacara tersebut.

A. Peralatan

Peralatan dan perlengkapan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upacara kelahiran pada masyarakat Aceh adalah: idang atau kating, sebilah bambu (sembilu), ramuan obat, sebuah periuk, alat cukur, madu lebah, buah limau dan pakaian sesalin, sejumlah uang, beras dua bambu, padi segantang, pulut kuning, ayam panggang dan seekor ayam.

Idang dan kating adalah tempat nasi beserta lauk-pauknya yang dibuat mak tuan. Sembilu digunakan untuk memotong tali pusar. Sedangkan, ramuan obat yang terbuat dari arang, kunyit dan air ludah digunakan untuk mengobati tali pusat. Periuk digunakan sebagai wadah atau tempat adoi (ari-ari). Alat cukur, sesuai namanya, digunakan untuk mencukur rambut bayi. Madu lebah digunakan untuk mengoles bibir bayi. Sedangkan, buah limau digunakan sebagai campuran air mandi ibu bayi ketika selesai menjalani masa pantang. Dan, pakaian sesalin, sejumlah uang, beras dua bambu, padi segantang, pulut kuning, ayam panggang dan seekor ayam untuk mablien sebagai ungkapan rasa terima kasih.

B. Tata Laksana

1. Persiapan Kelahiran

Dalam Masyarakat Aceh ketika usia kehamilan seorang perempuan sudah mencapai 4-5 bulan, mak tuan-nya (mertuanya) akan membuat nasi yang dibungkus daun pisang dengan bentuk piramid beserta lauk-pauknya dan buah. Nasi beserta lauk-pauk dan buah tersebut dimasukkan dalam suatu wadah yang disebut idang atau kating. Selanjutnya, diantar ke pihak menantu perempuan melalui kawon (kerabat) atau jiran (tetangga) yang rumahnya berdekatan. Disana nasi beserta lauk-pauknya dimakan bersama-sama. Kegiatan pengantaran idang itu disebut “upacara bahu“. Besar dan kecilnya atau mewah dan sederhananya upacara bergantung pada kemampuan mertuanya (ada yang membuatnya sampai 5 atau 6 idang besar, dan ada juga yang hanya 1 idang kecil saja).

Ketika usia kehamilan menantu sudah mencapai 7-8 bulan, upacara bahu juga diadakan lagi. Selain itu, pada saat-saat kehamilan menginjak usia 7-8 bulan, mak tuan bersama besannya (ibu menantu) mendatangi seorang yang ahli dalam membantu kelancaran kelahiran, yaitu mablien (bidan). Mereka membawa nasi beserta lauk-pauknya sebagai simbol tentang penyerahan perawatan anak menantunya yang tidak lama lagi akan melahirkan kepada mablien. Penyerahan perawatan ini oleh masyarakat Aceh disebut peunulang. Setelah peunulang disetujui (diterima) oleh mablien, maka disusul dengan pemberian: sirih setapak, sesalin (satu stel pakaian), dan sejumlah uang. Sejak itu, sang mablien tidak hanya setiap saat datang menjenguknya, tetapi juga membuat seunangkal agar yang hamil bebas dari gangguan setan.

2. Proses Kelahiran

Dalam suatu kelahiran, peranan seorang mablien sangatlah besar karena berkat pertolongannya, suatu kelahiran dapat berjalan dengan lancar dan selamat, baik si ibu maupun bayinya. Ketika bayi keluar dari rahim seorang ibu, maka bayi tersebut disambut oleh Sang mablien. Kemudian, daerah pangkal pusarnya (pusatnya) diikat. Jumlah ikatan bergantung pada jenis kelamin sang jabang bayi. Jika jenis kelaminnya laki-laki, maka jumlah ikatannya ada 7 ikat. Sedangkan, jika jenis kelaminnya perempuan, maka jumlah ikatannya ada 5 ikat. Selanjutnya, tali pusar dipotong dengan sebilah bambu (sembilu), lalu ditempeli (diobati) dengan ramuan yang terbuat dari arang, kunyit dan air ludah, kemudian sang bayi dibersihkan (dimandikan). Ketika bayi sudah bersih, maka diserahkan kepada ayahnya atau kakeknya. Jika bayi itu laki-laki, maka ayah atau kakeknya akan memperdengarkan adzan ke telinganya. Akan tetapi, jika bayi itu perempuan, maka cukup dengan memperdengarkan iqamah. Makna simbolik yang ada di balik adzan dan iqamah itu adalah penyambutan atas hadirnya seorang muslim atau muslimat. Sedangkan, pesan yang terselubung di dalamnya adalah agar kelak menjadi seorang penganut agama Islam yang taqwa menjalani aturan-aturan agama (Islam) dan menghindari larangan-larangannya. Setelah itu, bayi dibaringkan di samping ibunya. Sementara itu, adoi (teman bayi/ari-ari) dimasukkan pada sebuah periuk, kemudian diberi bebungaan dan wewangian, lalu ditanam di halaman rumah. Makna simbolik yang terkandung dalam bebungaan dan wewangian tersebut adalah kebersihan dan kecantikan. Jadi, pesan yang terkandung di dalamnya adalah agar bayi kelak dapat menghargai kebersihan dan kecantikan.

Sebagai catatan, ketika kelahiran sudah berlangsung selama 6 hari, maka pada hari ke-7 ada upacara menyangke rambut budak (cukur rambut) dan peucicap. Biasanya kedua upacara tersebut dibarengi dengan pemberian nama sang jabang bayi. Pencukuran rambut dilakukan oleh mablien. Demikian juga pengolesan madu lebah pada bibir bayi (peucicap). Pengolesan diawali dengan ucapan: “Bismillah Hirrahman Nirrahim“. Kemudian, dilanjutkan dengan “Mansilah lidahmu, panjanglah umurmu, mudah rezekimu, taat dan beriman, terpandang dan kawom“.

Sejak kelahiran hingga bayi berusia 44 hari, ibu bayi harus menjalani berbagai pantangan, antara lain: harus selalu ada di kamar (tidak boleh berjalan-jalan, apalagi keluar rumah), tidak boleh minum terlalu banyak, tidak boleh makan yang pedas-pedas dan tidak boleh makan dengan lauk-pauk kecuali hanya dengan garam dan teri gongseng. Masa berpantang ini oleh masyarakat Aceh disebut “du dapu“. Ada juga yang menyebutnya sebagai masa madeung karena selama masa itu berlangsung (44 hari) di dekat atau di bawah tempat tidur ibu bayi diberi bara api.

Setelah selesai menjalani masa berpantang, maka mablien memandikannya dengan air yang dicampur dengan irisan limau parut. Kegiatan ini oleh masyarakat setempat disebut sebagai “manao peut ploh peut“. Pada saat kegiatan ini dilaksanakan, mak tuan datang dengan membawa: nasi pulut kuning, ayam panggang dan bahan-bahan yang dibutuhkan ketika melahirkan (peusijuk).

Dengan berakhirnya manao peut ploh peut ini, maka berakhirlah rangkaian upacara kelahiran. Dan, sebagai ungkapan terima kasih, maka mablien diberi: pakaian sesalin, sejumlah uang, uang penebus cincin suasa, beras dua bambu, padi segantang, pulut kuning, ayam panggang dan seekor ayam.

C. Nilai Budaya

Upacara kelahiran yang digelar oleh masyarakat Aceh, jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan. Nilai-nilai itu antara lain: kebersihan, tanggung jawab, keselamatan, keramah-tamahan, ketaqwaan dan kemaruahan.

Nilai kebersihan tercermin dalam pemberian bebungaan (bunga-bunga) dan wewangian pada adoi yang ditanam di halaman rumah. Bebungaan dan wewangian, sebagaimana telah disebutkan di atas, adalah simbol kebersihan dan kecantikan. Artinya, kelak sang bayi diharapkan dapat menghargai kebersihan dan kecantikan. Nilai kebertanggung jawaban tercermin pada diri mak tuan yang membuat dan mengirim nasi beserta lauk-pauknya kepada keluarga menantunya ketika usia kehamilan menginjak 4-5 bulan dan 7-8 bulan (pada upacara bahu). Nilai keselamatan dan juga kebertanggung-jawaban tercermin pada diri mablien yang setiap saat menjenguk orang yang hamil dan membuat seunangkal agar yang hamil bebas dari gangguan setan. Nilai keramah-tamahan tercermin dari makna simbolik dalam pengolesan madu lebah pada bibir bayi (peucicap). Dengan pengolesan tersebut diharapkan kelak sang jabang bayi dapat bertutur santun, lembut dan manis, semanis madu lebah. Nilai ketaqwaan tercermin dalam perkataan ketika madu lebah dioleskan pada bibir bayi. Dan di sana ada kata-kata yang berbunyi “taat dan beriman”. Ini artinya, sang jabang bayi kelak diharapkan dapat menjadi orang yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dan, nilai kemaruahan juga tercermin dalam perkataan ketika madu lebah dioleskan pada bibir bayi. Di sana ada kata-kata yang berbunyi “terpandang dan kawom“. Ini artinya, kelak sang jabang bayi diharapkan dapat menjaga nama baik (maruah) orang tua dan kerabatnya.

Share