Setelah mangkatnya Sultanah Nurul Alam Zakiatuddin pada tahun 1688, terjadi perselisihan pendapat antara lembaga panglima tiga sagi dan Majelis Orang Kaya tentang keabsahan wanita menjadi sultanah. Isu ini sebenarnya telah diselesaikan dengan fatwa Syeikh Abdur Rauf Singkel pada zaman Sultanah Tajul Alam Safiatuddin tetapi dimunculkan kembali oleh pihak yang tidak setuju dengan diangkatnya Zinatuddin menjadi Sultanah. Majelis Orang Kaya tidak setuju dengan rencana diangkatnya Zinatuddin sebagai Sultanah. Walaupun demikian, pada akhirnya ia tetap dilantik menjadi sultanah karena kekuasaan untuk mengangkat seseorang menjadi sultanah ada di tangan Lembaga Panglima Tiga Sagi dan kebetulan lembaga ini mendukungnya karena Zinatuddin masih adik Sultanah Zakiatuddin dan ia dianugerahi gelar Sultanah Zinatuddin Kamalat Syah.

Alasan Majelis Orang Kaya tidak setuju dengan diangkatnya Zinatuddin adalah: pertama karena menurut mereka Islam melarang perempuan menjadi pemimpin. Di antara hadist yang menjadi pegangan mereka adalah: Khasira qaumun allazina wallau umuurahum imraatan (al-hadis). Artinya: “Rugilah suatu kaum yang menyerahkan urusan publiknya kepada perempuan”.

Seperti dijelaskan di dalam hadist dan kedua berdasarkan fakta setelah dipimpin oleh tiga orang sultanah berturut-turut Aceh ternyata tidak bertambah jaya namun sebaliknya semakin mundur terbukti dengan banyaknya daerah bawahan yang melepaskan diri.

Di sisi lain, argumetasi Majelis Orang Kaya dipatahkan oleh Lembaga Panglima Tiga Sagi dan tetap mempertahankan Zinatuddin karena berdasarkan fakta bahwa di kalangan kerajaan Islam sebelumnya telah ada perempuan yang memerintah kerajaan dan tidak ada masalah dengan kerajaan yang mereka pimpin. Para perempuan yang pernah menjadi sultanah itu adalah Sultanah Syajaratul al-Daur yang memimpin kerajaan Mameluk di Mesir dan Sultanah Raziah di Delhi India dan bahkan pada zaman keemasan Pasai terdapat seorang ratu perempuan yang bernama Sultanah Nahrasiyah.

Majelis Orang Kaya tetap mencari celah agar Zinatuddin turun dari tahta kesultanan. Di antara upaya yang mereka lakukan untuk menurunkan dari tahta kesultanan itu adalah dengan minta fatwa ke Mekkah tentang boleh tidaknya seorang wanita menjadi sultanah. Setelah ditunggu beberapa lama, tibalah fatwa yang dinantikan. Mufti Mekkah ternyata mengeluarkan fatwa haram bagi wanita menjadi pemimpin. Fatwa ini memicu perdebatan antara ulama yang pro dan kontra dan akhirnya berimbas pada ruang politik dengan turunnya Zinatuddin dari tahta kesultanan.

Walaupun menurut peraturan yang ada, kekuasaan untuk mengangkat dan menurunkan sultan di tangan Lembaga Panglima Tiga Sagi, di era ini lembaga panglima tiga sagi tidak sekuat pada masa Sultanah Tajul Alam Safiatuddin karena pengaruh Panglima Polem dan 22 mukim tidak sebesar pengaruh kakeknya yang merupakan keturunan langsung dari Iskandar Muda walaupun bukan dari isteri pertama. Faktor lain adalah adanya desakan Majelis Orang Kaya yang semakin keras setelah dikeluarkannya fatwa haram dari Mufti Mekkah disamping fakta semakin lemahnya Aceh sejak lima puluh tahun diperintah oleh tiga pemimpin perempuan. Hal ini semakin memperkuat kedudukan pihak oposisi yang ingin menggulingkan Zinatuddin.

Kedudukan teritorial Aceh yang semakin lemah juga menjadi faktor mengapa Sultanah Zinatuddin harus lengser dari tahtanya. Banyak daerah di Sumatera yang melepaskan diri dari Aceh sejak Belanda menekan Aceh pada tahun 1667 di antaranya Sumatera Timur dan Barat.

Demikian juga memperlemah ekonomi dan perdagangan Aceh karena sejak Sumatera Timur dan Sumatera Barat lepas, mereka mengalihkan perdagangan komoditas penting seperti emas, lada dan timah melalui sungai Siak, Rokan, Kampar dan Inderagiri ke pelabuhan di kawasan timur Sumatera dan selanjutnya di angkut melintasi Selat Malaka ke Sungai Ujong, Naning dan Rembau di Semenanjung Melayu.

Sama dengan para pendahulunya, Sultan Kamalat Syah juga menerbitkan uang emas dengan tulisan Paduka Seri Sultanah Zinatuddin dan dibaliknya Kamalat Syah Berdaulat.

Apa yang dilakukan daerah Sumatera Timur dan Sumatera Barat juga dilakukan di daerah Perak dan Kedah. Pengaruh Aceh di kedua daerah ini menjadi lemah dan lama-lama dikuasai orang-orang Bugis yang bersaing dengan Belanda.

Memburuknya keadaan ekonomi dan politik yang membuat rakyat Aceh tidak puas dengan Kamalat Syah plus fatwa mufti Mekkah yang mengharamkan pemimpin kerajaan perempuan mengharuskan Kamalat Syah turun tahta pada bulan Oktober 1699.

Setelah turun tahta, Kamalat Syah diganti oleh suaminya yang bernama Sayid Hasyim Jamalulail dan Hadramaut yang juga keturunan Rasulullah SAW Hadramaut. Setelah diangkat menjadi Sultan Aceh, Sayid Hasyim Jalamulail diberi gelar Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamalulail. Karena ketika diangkat sudah uzur, ia memerintah Aceh dalam waktu yang relatif singkat dan turun tahta pada tahun 1702 dan mangkat dua minggu setelah turun tahta pada tahun yang sama.

Share