Pola perkampungan tradisional di Aceh Tengah ini, rumah tradisional merupakan komponen penting dari unsur fisik yang mencerminkan kesatuan sakral dan kesatuan sosial. Pembangunannya dilaksanakan secara bergotong royong. Rumah adat yang satu dengan yang lain tidak jauh berbeda, perbedaannya hanya pada pemilihan motif-motif ukiran yang menghiasi rumah tersebut yang diambil dari motif-motif alam dan lingkungan di sekelilingnya, menggambarkan flora, fauna serta tanda kebesaran Allah SWT.

Rumah adat Gayo ini berkolong, tinggi lantainya 2 sampai 2,5 m di atas tanah dengan lima, tujuh dan 9 anak tangga, tergantung kepada jenis rumahnya. Arahnya sama dengan arah rumah tradisional Aceh yang memanjang dari Timur ke Barat. Lantai rumah yang umumnya terbuat dari enau (temor) atau bambu yang cukup tua yang direndam dulu agar jangan dimakan bubuk. Temor atau bambu tersebut dibelah, dibersihkan dan disusun lalu di ikat dengan rotan atau ijik yang dipintal. Ada juga yang terbuat dari papan tetapi dibuat lubang pada lantai untuk memudahkan membuang kotoran ketika menyapu. Atap rumah terbuat dari daun ( serule), sejenis daun-daun yang panjangnya sekitar 60 cm disemat dengan serat kulit tumbuh-tumbuhan lelede, kereteng atau nunen.

Salah satu bentuk rumah tradisional Gayo adalah umah time ruang berupa rumah besar yang mempunyai beberapa ruang berukuran 3×3 cm2. Tiang rumah didirikan di atas batu merupakan umpak dengan jumlah tiang tiga puluh enam buah dan berderet empat-empat. Pada ruang bagian tengah terdapat reje tiang yang diperoleh didataran tinggi dan peteri tiang yang di dapat di lembah-lembah. Tiang rumah adat ada dua bentuk, yang pertama berbentuk bulat dan yang lain berbentuk persegi empat atau delapan. Pada ketinggian dua sampai tiga meter tiang dipalang untuk tempat bantalan. Bantalan yang memanjang disebut ruk bujur, bantalan menurut lebar ruk lintang. Di atas bantalan ini diletakkan gregel yaitu papan tebal yang diletakkan berdiri sebagai penahan lantai.

Bagian depan rumah di sebut lepo, merupakan tempat untuk berjemur dan tempat wanita menganyam tikar, mengobrol dan kegiatan lainnya. Bagian kanan rumah ada serambi rawan (serambi laki-laki) dan serambi banan (serambi wanita). Bagian depan yang sejajar serambi banan disebut anyung. Pada anyung terdapat sebuah dapur besar yang digunakan untuk memasak. Antara serambi rawan dan banan ada bilik dari ujung ke ujung sebanyak tujuh buah yang yang disebut umah rinung (kamar tidur). Di kolong rumah terdapat jingki, alat penumbuk padi dan tepung yang ditekan dengan kaki beramai-ramai bila sedang menumbuk.

Bentuk rumah tradisional Gayo lainnya disebut umah belah bubung dalam bentuknya secara umum tidak berbeda dengan umah time ruang, yaitu tinggi berkolong tetapi umah belah bubung hanya mempunyai satu serambi. Perbedaan yang lain adalah pada umah belah bubung lantai biliknya dan serambinya sejajar, sedang pada umah time ruang bertingkat, yaitu lantai bilik lebih tinggi dari kedua serambi. Umah rinung di sini berfungsi sebagai tempat tidur dari kepala keluarga.

Musyawarah mendirikan bangunan rumah tradsional diawali dengan musyawarah keluarga, setelah itu baru di sampaikan kepada raja (reje) yang waktu itu merupakan pimpinan. Kegiatan mendirikan rumah, dilakukan secara gotong royong. Yang mula-mula dicari adalah kayu yang akan dijadikan reje tiang (raja tiang), baru kemudian peteri tiang. Kayu yang baik adalah kayu yang tidak dililiti akar dan apabila kayu ditebang, rebahnya tidak menyangkut kayu yang lain. Tahap berikutnya adalah menarik kayu tersebut secara beramai-ramai keluar hutan sampai ke kampung yang dilakukan oleh kaum lelaki, sedangkan kaum wanitanya menyediakan makanan dan membunyikan canang, seperangkat alat kesenian yang tujuannya untuk memberi hiburan dan semangat kepada kaum pria yang menarik kayu tersebut. Pembuatan bagian tengah rumah, yang merupakan bagian dari ruang tengah dan berfungsi sebagai lantai rumah, dimulai dengan memahat tiang-tiang. Apabila dibangun rumah time ruang, maka pada bagian yang membujur terdapat tingkatan setinggi 0,5 m dari lantai. Peristiwa mendirikan bangunan ini merupakan hal yang menarik, karena disamping penduduk setempat juga diundang penduduk dari kampung yang lain. Masing-masing kelompok mempertaruhkan kelompoknya dan berusaha mendirikan bangunan secepatnya. Dalam peristiwa adu cepat ini, kepala tukang berdiri di atas panggung dan langsung memberi komando. Ada kalanya bukan kepala tukang tetapi anak-anak, wanita dan pria dengan pakaian adat lengkap yang memberi aba-aba.

Dalam mendirikan bangunan dilakukan beberapa upacara, yaitu sebelum mendirikan bangunan dan setelah bangunan selesai. Penepung tawaran terhadap tukang dan alat-alat pertukangan, dilakukan oleh wanita atau orang yang dihormati. Peralatan tersebut dimasukkan ke dalam buke yaitu wadah yang terbuat dari tanah liat yang di isi air. Upacara ini memohon keselamatan, kesejahteraan dan perlindungan dari Allah SWT. Upacara mendirikan bangunan suku Gayo, pada hakekatnya sama dengan upacara mendirikan bangunan pada suku Aceh yang lebih cenderung bersifat musyawarah dititikberatkan kepada kegotongroyongan.

Dalam rangka penghunian rumah tersimpan nilai demokratis, setiap keluarga yang akan menempati ruangan ditentukan melalui sistem undian. Setiap keluarga harus menerima dengan ikhlas untuk menempati ruangan manapun dari hasil undian tersebut. Dengan demikian menurut pandangan mereka, penghunian rumah dianggap sama rata dan sama rasa.

Share