Berdasarkan naskah tua dan catatan-catatan sejarah, Kerajaan Aceh Darussalam dibangun diatas puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra dan Kerajaan Indra Pura Dari penemuan batu-batu nisan di Kampung Pande salah satu dari batu nisan tersebut terdapat batu nisan Sultan Firman Syah cucu dari Sultan Johan Syah, maka terungkaplah keterangan bahwa Banda Aceh adalah ibukota Kerajaan Aceh Darussalam yang dibangun pada hari Jum’at, tanggal 1 Ramadhan 601 H ( 22 April 1205 M) yang dibangun oleh Sultan Johan Syah setelah berhasil menaklukkan Kerajaan Hindu/Budha Indra Purba dengan ibukotanya Bandar Lamuri.

Tentang Kota Lamuri ada yang mengatakan ia adalah Lam Urik sekarang terletak di Aceh Besar. Menurut Dr. N.A. Baloch dan Dr. Lance Castle yang dimaksud dengan Lamuri adalah Lamreh di Pelabuhan Malahayati (Krueng Raya sekarang). Sedangkan Istananya dibangun di tepi Kuala Naga (kemudian menjadi Krueng Aceh) di Kampung Pande sekarang ini dengan nama “Kandang Aceh”. Dan pada masa pemerintahan cucunya Sultan Alaidin Mahmud Syah, dibangun istana baru di seberang Kuala Naga (Krueng Aceh) dengan nama Kuta Dalam Darud Dunia (dalam kawasan Meligoe Aceh atau Pendopo Gubernur sekarang) dan beliau juga mendirikan Mesjid Djami Baiturrahman pada tahun 691 H.

Banda Aceh Darussalam sebagai ibukota Kerajaan Aceh Darussalam dan sekarang ini merupakan ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah berusia 805 tahun (tahun 2010 M) merupakan salah satu Kota Islam Tertua di Asia Tenggara. Seiring dengan perkembangan zaman Kerajaan Aceh Darussalam dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami zaman gemilang dan pernah pula mengalami masa-masa suram yang menggentirkan.

Adapun Masa gemilang Kerajaan Aceh Darussalam yaitu pada masa pemerintahan “Sultan Alaidin Ali Mughayat Syah, Sultan Alaidin Abdul Qahhar (Al Qahhar), Sultan Alaidin Iskandar Muda Meukuta Alam dan Sultanah Tajul Alam Safiatuddin”.

Sedangkan masa percobaan berat, pada masa Pemerintahan Ratu yaitu ketika golongan oposisi “Kaum Wujudiyah” menjadi kalap karena berusaha merebut kekuasaan menjadi gagal, maka mereka bertindak liar dengan membakar Kuta Dalam Darud Dunia, Mesjid DJami Baiturrahman dan bangunan-bangunan lainnya dalam wilayah kota.

Kemudian Banda Aceh Darussalam menderita penghancuran pada waktu pecah “Perang Saudara” antara Sultan yang berkuasa dengan adik-adiknya, peristiwa ini dilukiskan oleh Teungku Dirukam dalam karya sastranya, Hikayat Pocut Muhammad.

Masa yang amat getir dalam sejarah Banda Aceh Darussalam pada saat terjadi Perang Dijalan Allah selama 70 tahun yang dilakukan oleh Sultan dan Rakyat Aceh sebagai jawaban atas “ultimatum” Kerajaan Belanda yang bertanggal 26 Maret 1837. Dan yang lebih luka lagi setelah Banda Aceh Darussalam menjadi puing dan diatas puing Kota Islam yang tertua di Nusantara ini Belanda mendirikan Kutaraja sebagai langkah awal Belanda dari usaha penghapusan dan penghancuran kegemilangan Kerajaaan Aceh Darussalam dan ibukotanya Banda Aceh Darussalam.

Sejak itu ibukota Banda Aceh Darussalam diganti namanya oleh Gubernur Van Swieten ketika penyerangan Agresi ke-2 Belanda pada Kerajaan Aceh Darussalam tanggal 24 Januari 1874 setelah berhasil menduduki Istana/Keraton yang telah menjadi puing-puing dengan sebuah proklamasinya yang berbunyi :

“Bahwa Kerajaan Belanda dan Banda Aceh dinamainya dengan Kutaraja, yang kemudian disahkan oleh Gubernur Jenderal di Batavia dengan beslit yang bertanggal 16 Maret 1874, semenjak saat itu resmilah Banda Aceh Darussalam dikebumikan dan diatas pusaranya ditegaskan Kutaraja sebagai lambang dari Kolonialisme”.

Pergantian nama ini banyak terjadi pertentangan di kalangan para tentara Kolonial Belanda yang pernah bertugas dan mereka beranggapan bahwa Van Swieten hanya mencari muka pada Kerajaan Belanda karena telah berhasil menaklukkan para pejuang Aceh dan mereka meragukannya.

Awal Penetapan Kota Banda Aceh

Setelah 89 tahun nama Banda Aceh Darussalam telah dikubur dan Kutaraja dihidupkan, maka pada tahun 1963 Banda Aceh dihidupkan kembali, hal ini berdasarkan Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah bertanggal 9 Mei 1963 No. Des 52/1/43-43. Dan semenjak tanggal tersebut resmilah Banda Aceh menjadi nama ibukota Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam bukan lagi Kutaraja hingga saat ini.

Sejarah duka kota Banda Aceh yang masih segar dalam ingatan adalah terjadinya bencana gempa dan tsunami pada hari Minggu tanggal 26 Desember 2004 jam 7:58:53 telah menghancurkan sepertiga wilayah Kota Banda Aceh. Ratusan ribu jiwa penduduk menjadi korban bersama dengan harta bendanya menambah kegetiran warga Kota Banda Aceh. Bencana gempa dan tsunami ini dengan kekuatan 8,9 SR tercatat sebagai peristiwa terbesar sejarah dunia dalam masa dua abad terakhir ini.

Kini Kota Banda Aceh telah mulai pulih kembali, kedamaian telah menjelma setelah perjanjian damai di Helsinki antara pemerintah RI dan GAM seiring dengan proses rehabilitasi dan rekontruksi Kota Banda Aceh yang sedang dilaksanakan. Membangun kembali Kota Banda Aceh ke depan selain dilaksanakan oleh pemerintah pusat melalui Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekontruksi Aceh dan Nias (BRR) serta bantuan dari badan-badan dunia dan berbagai Negara Donor bersama NGO, Pemerintah Kota Banda Aceh telah menetapkan kebijakan-kebijakan pembangunan yang disepakati bersama DPRD Kota Banda Aceh yang dituangkan dalam Rencana Strategis Kota Banda Aceh tahun 2005-2009, selanjutnya dituangkan dalam program kegiatan tahunan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Banda Aceh. Dengan kedamaian yang telah diraih ini dan melalui proses rehabilitasi dan rekonstruksi, Banda Aceh mulai bangkit kembali, cahaya terang membawa harapan untuk meraih cita-cita bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.

Situs Sejarah Kota Banda Aceh

1. Prasasti Neusu

Prastasti ini di temukan pertama sekali di pagar sebuah Langgar Neusu Aceh Kecamatan Baiturrahman Banda Aceh berbentuk “Yopa” berbahasa Tamil kuno berasa dari abad ke 11 Masehi.
Parastasti ini di temukan pada tanggal 3 Desember 1990 oleh Ibrahim Kaoy Jabatan sebagai Kakanwil Depdikbud Aceh, Prastasti ini disebut Prastasti Bersurat karena banyak guratan – guratan kecil dan memenuhi batu prastasti itu, mengenai isi dari pesan yang tertulis di batu ini sampai sekarang belum ada data terjemahannya. Prastasti ini bisa menjadi bukti bahwa sebelum kerajaan islam ada di Banda Aceh telah ada peradaban lain atau kerajaan lain yang beragama hindu atau budha.

2. Makam Sultan Iskandar Muda

Jaman keemasan kerajaan Aceh dulu terjadi pada Pemerintahan Sultan Iskandar Muda, beliau adalah keturunan dari dua dinasti yaitu Dinasti Mahkota Alam dan Dinsti Darul-Kamal, ibunya Putri Raja Indra Bangsa / Paduka Syah Alam dan bapak bernama Mansur Syah, tanggal kelahiran Sultan Iskandar Muda belum di ketahui secara pasti tapi menurut hikayat, Putri Raja Indra Bangsa memerintah pada tahun 1579 sampai 1586 hamil beberapa waktu setelah menikah, dan juga cerita dari Best pada tahun 1613 umur sultan 32 tahun berarti dapat di kira-kira sultan lahir pada tahun 1583, ada juga versi di makam pusara beliu tertulis tahun kelahiran 1590, Sultan Iskandar Muda memerintah tahun 1607-1636 .

3. Istana Kerajaan Aceh Darussalam

Pada Zaman Snouck Hurgronje Istana itu Bertempat di tengah-tengah kota dan menjadi inti daerah dengan nama Banda Aceh yang di kelilingi gampong-gampong sepertih Gampong Pande, Gampong Jawa, Gampong Peunayong dst. Banda itu sendiri barasal dari kata Parsi yaitu bandar (Pelabuhan). Sebuah Gambar oleh Beaulieu pintu tempat-tempat masuk menuju istana kelilingnya lebih dari setengah mil (kira-kira 2 Kilometer) berbentuk hampir bulat bujur dan sekelilingnya ada parit yang dalamnya 25 sampai 30 kaki (10 m) dan sama lebar, agak sukar dilalalui terjal dan penuh semak, tidak terdapat dinding pertahanan dan benteng-benteng di sekeliling istana, dibagian dalam pelataran-pelataran dan bangunan-bangunan mengalir sungai kecil dibawahnya, itu masih bisa terlihat sampai sekarang krueng Daroi itu yang mengalir dari selatan membelah Kraton (Pendopo Gubernur) lalu bermuara ke Krueng Aceh.

4. Gunongan

Dinamakan Gunongan karena bentuknya menyurupai gunung, ditengah tengahnya terdapat menara dan sebuah gua yang di kapur seperti perak, Sultan Aceh mendirikan bangunan itu untuk permaisurinya Putro Phang (Anak Sultan Johor) yang rindu kampung halamanya, tepat ini digunakan juga untuk bersenang-senang dan bermain Putro Phang dan disebut Taman Sari Gunungan.

5. Kandang Pemakaman Raja-Raja Aceh


Kandang adalah tempat pemakaman raja-raja, yang bertempat di kawasan keraton dan museum Aceh dan Gampong Pande.

6. Pinto Khop

Pinto Khop yang terletak di Jln. Sultan Alaidin Mahmudsyah, Kota Banda Aceh adalah salah satu pintu masuk ke Taman Dalam di bangun pada masa Pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Pinto Khop merupakan pintu penghubung antara Istana dan Taman Putroe Phang. Pinto Khop ini merupakan pintu gerbang berbentuk kubah. Pintu Khop ini merupakan tempat beristirahat Putri Phang, setelah lelah berenang, letaknya tidak jauh dari Gunongan, disanalah dayang-dayang membasuh rambut sang permaisuri. Disana juga terdapat kolam untuk sang permaisuri mandi bunga. Ditempat itu pula oleh Sultan dibangun sebuah perpustakaan dan menjadi tempat sang permaisuri serta Sultan menghabiskan waktu sambil membaca buku selepas berenang, keramas dan mandi bunga.

7. Rumoh Aceh

A. Asal-usul Rumoh Aceh

Kepercayaan individu atau masyarakat dan kondisi alam di mana individu atau masyarakat hidup mempunyai pengaruh signifikan terhadap bentuk arsitektur bangunan, rumah yang dibuat. Hal ini dapat dilihat pada arsitektur Rumoh Aceh, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia. Rumoh Aceh merupakan rumah panggung dengan tinggi tiang antara 2,50 – 3 meter, terdiri dari tiga atau lima ruang, dengan satu ruang utama yang dinamakan rambat. Rumoh dengan tiga ruang memiliki 16 tiang, sedangkan Rumoh dengan lima ruang memiliki 24 tiang. Modifikasi dari tiga ke lima ruang atau sebaliknya bisa dilakukan dengan mudah, tinggal menambah atau menghilangkan bagian yang ada di sisi kiri atau kanan rumah. Bagian ini biasa disebut seuramoe likot atau serambi belakang dan seuramoe reunyeun atau serambi bertangga, yaitu tempat masuk ke Rumoh yang selalu berada di sebelah timur.

Pintu utama Rumoh Aceh tingginya selalu lebih rendah dari ketinggian orang dewasa. Biasanya ketinggian pintu ini hanya berukuran 120 – 150 cm sehingga setiap orang yang masuk ke Rumoh Aceh harus menunduk. Namun, begitu masuk, kita akan merasakan ruang yang sangat lapang karena di dalam rumah tak ada perabot berupa kursi atau meja. Semua orang duduk bersila di atas tikar ngom (dari bahan sejenis ilalang yang tumbuh di rawa) yang dilapisi tikar pandan.

Rumoh Aceh bukan sekedar tempat hunian, tetapi merupakan ekspresi keyakinan terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam. Oleh karena itu, melalui Rumoh Aceh kita dapat melihat budaya, pola hidup, dan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat Aceh. Adaptasi masyarakat Aceh terhadap lingkungannya dapat dilihat dari bentuk Rumoh Aceh yang berbentuk panggung, tiang penyangganya yang terbuat dari kayu pilihan, dindingnya dari papan, dan atapnya dari rumbia. Pemanfaatan alam juga dapat dilihat ketika mereka hendak menggabungkan bagian-bagian rumah, mereka tidak menggunakan paku tetapi menggunakan pasak atau tali pengikat dari rotan. Walaupun hanya terbuat dari kayu, beratap daun rumbia, dan tidak menggunakan paku, Rumoh Aceh bisa bertahan hingga 200 tahun.

Pengaruh keyakinan masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan rumahnya dapat dilihat pada orientasi rumah yang selalu berbentuk memanjang dari timur ke barat, yaitu bagian depan menghadap ke timur dan sisi dalam atau belakang yang sakral berada di barat. Arah Barat mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk membangun garis imajiner dengan Ka’bah yang berada di Mekkah. Selain itu, pengaruh keyakinan dapat juga dilihat pada penggunaan tiang-tiang penyangganya yang selalu berjumlah genap, jumlah ruangannya yang selalu ganjil dan anak tangganya yang berjumlah ganjil.

Selain sebagai manifestasi dari keyakinan masyarakat dan adaptasi terhadap lingkungannya, keberadaan Rumoh Aceh juga untuk menunjukan status sosial penghuninya. Semakin banyak hiasan pada Rumoh Aceh, maka pastilah penghuninya semakin kaya. Bagi keluarga yang tidak mempunyai kekayaan berlebih, maka cukup dengan hiasan yang relatif sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali.

Seiring perkembangan zaman yang menuntut semua hal dikerjakan secara efektif dan efisien, dan semakin mahalnya biaya pembuatan dan perawatan Rumoh Aceh, maka lambat laun semakin sedikit orang Aceh yang membangun rumah tradisional ini. Akibatnya, jumlah Rumoh Aceh semakin hari semakin sedikit. Masyarakat lebih memilih untuk membangun rumah modern berbahan beton yang pembuatan dan pengadaan bahannya lebih mudah daripada Rumoh Aceh yang pembuatannya lebih rumit, pengadaan bahannya lebih sulit, dan biaya perawatannya lebih mahal. Namun, ada juga orang-orang yang karena kecintaannya terhadap arsitektur warisan nenek moyang mereka ini membuat Rumoh Aceh yang ditempelkan pada rumah beton mereka.

Keberadaan Rumoh Aceh merupakan cerminan dari nilai-nilai hidup yang dijalankan oleh masyarakat Aceh. Oleh karena itu, melestarikan Rumoh Aceh berarti juga melestarikan eksistensi masyarakat Aceh itu sendiri.

B. Bahan-bahan

Untuk membuat Rumoh Aceh, bahan-bahan yang diperlukan di antaranya adalah:

  • Kayu. Kayu merupakan bahan utama untuk membuat Rumoh Aceh. Kayu digunakan untuk membuat tameh (tiang), toi, roek, bara, bara linteung, kuda-kuda, tuleueng rueng, indreng dan lain sebagainya.
  • Papan, digunakan untuk membuat lantai dan dinding.
  • Trieng (bambu). Bambu digunakan untuk membuat gasen (reng), alas lantai, beuleubah (tempat menyemat atap) dan lain sebagainya.
  • Enau (temor). Selain menggunakan bambu, adakalanya untuk membuat lantai dan dinding Rumoh Aceh menggunakan enau.
  • Taloe meu-ikat (tali pengikat). Tali pengikat biasanya dibuat dari tali ijuk, rotan, kulit pohon waru dan terkadang menggunakan tali plastik.
  • Oen meuria (daun rumbia), digunakan untuk membuat atap.
  • Daun enau. Selain mengunakan oen meuria, terkadang untuk membuat atap menggunakan daun enau.
  • Peuleupeuk meuria (pelepah rumbia). Bahan ini digunakan untuk membuat dinding rumah, rak-rak dan sanding.

C. Tahap Pembangunan Rumoh Aceh

Bagi masyarakat Aceh, membangun rumah bagaikan membangun kehidupan itu sendiri. Hal itulah mengapa pembangunan yang dilakukan haruslah memenuhi beberapa persyaratan dan melalui beberapa tahapan. Persyaratan yang harus dilakukan misalnya pemilihan hari baik yang ditentukan oleh Teungku (ulama setempat), pengadaan kenduri, pengadaan kayu pilihan dan sebagainya. Oleh karena proses pembuatan Rumoh Aceh dilakukan secara cermat dengan berlandaskan kepada pengetahuan lokal masyarakat, maka Rumoh Aceh walaupun terbuat dari kayu mampu bertahan hingga ratusan tahun lamanya.

Adapun tahapan-tahapan pembangunan Rumoh Aceh adalah:

  1. Musyawarah.
  2. Pengumpulan bahan.
  3. Pengolahan bahan.
  4. Perangkaian bahan.

Tahapan paling awal untuk mendirikan Rumoh Aceh adalah melakukan musyawarah keluarga. Kemudian dilanjutkan dengan memberitahukan rencana pendirian rumah tersebut kepada Teungku. Tujuannya adalah untuk mendapatkan saran-saran tentang apa yang harus dilakukan agar rumah yang dibangun dapat memberikan ketenangan, ketenteraman dan sejahtera baik lahir maupun batin kepada penghuninya.

Setelah mendapatkan saran-saran dari Teungku, dilanjutkan dengan pengadaan bahan. Pengadaan bahan-bahan dilakukan secara gotong royong. Kayu yang baik adalah kayu yang tidak dililiti akar dan apabila kayu ditebang, rebahnya tidak menyangkut kayu yang lain. Kayu-kayu tersebut kemudian dikumpulkan di suatu tempat yang terlindung dari hujan. Jika waktu pembangunan masih lama, adakalanya bahan-bahan tersebut direndam terlebih dahulu di dalam air, tujuannya agar kayu-kayu tersebut tidak dimakan rayap.

Tahap berikutnya adalah mengolah kayu sesuai dengan kegunaannya masing-masing. Setelah semuanya siap, maka dimulailah pendirian Rumoh Aceh. Pendirian awal Rumoh Aceh ditandai dengan pembuatan landasan untuk memancangkan kayu. Kayu yang pertama dipancangkan adalah tiang utama (tiang raja) dan dilanjutkan dengan tiang-tiang yang lain. Setelah semua tiang terpancang, dilanjutkan dengan pembuatan bagian tengah rumah, yang meliputi lantai rumah dan dinding rumah. Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan bagian atas rumah yang diakhiri dengan pemasangan atap. Bagian terakhir pembangunan Rumoh Aceh adalah finishing, yaitu pemasangan ornamen pendukung seperti ragam hiasan dan sebagainya.

D. Bagian-bagian Rumoh Aceh

1. Bagian Bawah

Bagian bawah Rumoh Aceh atau yup moh merupakan ruang antara tanah dengan lantai rumah. Bagian ini berfungsi untuk tempat bermain anak-anak, kandang ayam, kambing dan itik. Tempat ini juga sering digunakan kaum perempuan untuk berjualan dan membuat kain songket Aceh.

Tempat ini juga digunakan untuk menyimpan jeungki atau penumbuk padi dan krong atau tempat menyimpan padi berbentuk bulat dengan diameter dan ketinggian sekitar dua meter.

2. Bagian Tengah

Bagian tengah Rumoh Aceh merupakan tempat segala aktivitas masyarakat Aceh baik yang bersifat privat ataupun bersifat public. Pada bagian ini, secara umum terdapat tiga ruangan, yaitu: ruang depan, ruang tengah dan ruang belakang.

  • Ruang depan (seuramoe reunyeun). Ruangan ini disebut juga Seuramoe-keu (serambi depan). Disebut ruang atau serambi depan karena di sini terdapat reunyeun atau tangga untuk masuk ke rumah. Ruangan ini tidak berkamar-kamar dan pintu masuk biasanya terdapat di ujung lantai di sebelah kanan. Tapi ada pula yang membuat pintu menghadap ke halaman, dan tangganya di pinggir lantai. Dalam kehidupan sehari-hari ruangan ini berfungsi untuk menerima tamu, tempat tidur-tiduran anak laki-laki dan tempat anak-anak belajar mengaji. Pada saat-saat tertentu misalnya pada waktu ada upacara perkawinan atau upacara kenduri, maka ruangan ini dipergunakan untuk makan bersama.
  • Ruang tengah. Ruangan ini merupakan inti dari Rumoh Aceh, oleh karenanya disebut Rumoh Inong (rumah induk). Lantai pada bagian ini lebih tinggi dari ruangan lainnya, dianggap suci dan sifatnya sangat pribadi. Di ruangan ini terdapat dua buah bilik atau kamar tidur yang terletak di kanan-kiri dan biasanya menghadap utara atau selatan dengan pintu menghadap ke belakang. Di antara kedua bilik tersebut terdapat gang (rambat) yang menghubungkan ruang depan dan ruang belakang.
    Fungsi Rumoh Inong adalah untuk tidur kepala keluarga dan Anjong untuk tempat tidur anak gadis. Bila anak perempuannya kawin, maka dia akan menempati Rumoh Inong sedang orang tuanya pindah ke Anjong. Bila anak perempuannya yang kawin dua orang, orang tua akan pindah ke serambi atau seuramoe likot, selama belum dapat membuat rumah baru atau menambah/memperlebar rumahnya. Di saat ada acara perkawinan, mempelai di persandingkan di Rumoh Inong, begitu pula bila ada kematian Rumoh Inong dipergunakan sebagai tempat untuk memandikan mayat.
  • Ruang belakang disebut seuramoe likot. Lantai seuramoe likot tingginya sama dengan seuramoe reunyeun (serambi depan) dan ruangan ini pun tidak berbilik. Fungsi ruangan ini sebagian dipergunakan untuk dapur dan tempat makan dan biasanya terletak di bagian timur ruangan. Selain itu juga dipergunakan untuk tempat berbincang-bincang bagi para wanita serta melakukan kegiatan sehari-hari seperti menenun dan menyulam.
    Namun, adakalanya dapur dipisah dan berada di bagian belakang serambi belakang. Ruangan ini disebut Rumoh dapu (dapur). Lantai dapur sedikit lebih rendah dibanding lantai serambi belakang.

3. Bagian Atas

Bagian ini terletak di bagian atas serambi tengah. Adakalanya, pada bagian ini diberi para (loteng) yang berfungsi untuk menyimpan barang-barang keluarga. Atap Rumoh Aceh biasanya terbuat dari daun rumbia yang diikat dengan rotan yang telah dibelah kecil-kecil.

E. Ragam Hiasan

Dalam Rumoh Aceh, ada beberapa motif hiasan yang dipakai, yaitu:

  1. Motif keagamaan. Hiasan Rumoh Aceh yang bercorak keagamaan merupakan ukiran-ukiran yang diambil dari ayat-ayat al-Quran.
  2. Motif flora. Motif flora yang digunakan adalah stelirisasi tumbuh-tumbuhan baik berbentuk daun, akar, batang, ataupun bunga-bungaan. Ukiran berbentuk stelirisasi tumbuh-tumbuhan ini tidak diberi warna, jikapun ada, warna yang digunakan adalah Merah dan Hitam. Ragam hiasan ini biasanya terdapat pada reunyeun (tangga), dinding, tulak angen, kindang, balok pada bagian kap dan jendela rumah.
  3. Motif fauna. Motif binatang yang biasanya digunakan adalah binatang-binatang yang sering dilihat dan disukai.
  4. Motif alam. Motif alam yang digunakan oleh masyarakat Aceh di antaranya adalah: langit dan awannya, langit dan bulan, dan bintang dan laut.
  5. Motif lainnya, seperti rantee, lidah dan lain sebagainya.

F. Nilai-nilai

Wujud dari arsitektur Rumoh Aceh merupakan cerminan dari kearifan dalam menyikapi alam dan keyakinan (religius) masyarakat Aceh. Arsitektur rumah berbentuk panggung dengan menggunakan kayu sebagai bahan dasarnya merupakan bentuk adaptasi masyarakat Aceh terhadap kondisi lingkungannya. Secara kolektif pula, struktur rumah tradisi yang berbentuk panggung memberikan kenyamanan tersendiri kepada penghuninya. Selain itu, struktur rumah seperti itu memberikan nilai positif terhadap sistem kawalan sosial untuk menjamin keamanan, ketertiban dan keselamatan warga gampong (kampung). Sebagai contoh, struktur rumah berbentuk panggung membuat pandangan tidak terhalang dan memudahkan sesama warga saling menjaga rumah serta ketertiban gampong.

Kecerdasan masyarakat dalam menyikapi kondisi alam juga dapat dilihat dari bentuk Rumoh Aceh yang menghadap ke utara dan selatan sehingga rumah membujur dari timur ke barat. Walaupun dalam perkembangannya dianggap sebagai upaya masyarakat Aceh membuat garis imajiner antara rumah dan Ka’bah (motif keagamaan), tetapi sebelum Islam masuk ke Aceh, arah rumah tradisional Aceh memang sudah demikian. Kecenderungan ini nampaknya merupakan bentuk penyikapan masyarakat Aceh terhadap arah angin yang bertiup di daerah Aceh, yaitu dari arah timur ke barat atau sebaliknya. Jika arah Rumoh Aceh menghadap ke arah angin, maka bangunan rumah tersebut akan mudah rubuh. Di samping itu, arah rumah menghadap ke utara-selatan juga dimaksudkan agar sinar matahari lebih mudah masuk ke kamar-kamar, baik yang berada di sisi timur ataupun di sisi barat. Setelah Islam masuk ke Aceh, arah Rumoh Aceh mendapatkan justifikasi keagamaan. Nilai religiusitasnya juga dapat dilihat pada jumlah ruang yang selalu ganjil, jumlah anak tangga yang selalu ganjil dan keberadaan gentong air untuk membasuh kaki setiap kali hendak masuk Rumoh Aceh.

Musyawarah dengan keluarga, meminta saran kepada Teungku, dan bergotong royong dalam proses pembangunannya merupakan upaya untuk menumbuhkan rasa kekeluargaan, menanamkan rasa solidaritas antar sesama dan penghormatan kepada adat yang berlaku. Dengan bekerjasama, permasalahan dapat diatasi dan harmoni sosial dapat terus dijaga. Dengan mendapatkan petuah dari Teungku, maka rumah yang dibangun diharapkan dapat memberikan keamanan secara jasmani dan ketentraman secara rohani.

Tata ruang rumah dengan beragam jenis fungsinya merupakan simbol agar semua orang taat pada aturan. Adanya bagian ruang yang berfungsi sebagai ruang-ruang privat, seperti Rumoh Inong, ruang publik, seperti serambi depan, dan ruang khusus perempuan, seperti serambi belakang merupakan usaha untuk menanamkan dan menjaga nilai kesopanan dan etika bermasyarakat. Keberadaan tangga untuk memasuki Rumoh Aceh bukan hanya berfungsi sebagai alat untuk naik ke bangunan rumah, tetapi juga berfungsi sebagai titik batas yang hanya boleh didatangi oleh tamu yang bukan anggota keluarga atau saudara dekat. Apabila di rumah tidak ada anggota keluarga yang laki-laki, maka ”pantang dan tabu” bagi tamu yang bukan keluarga dekat (muhrim) untuk naik ke rumah. Dengan demikian, reunyeun juga memiliki fungsi sebagai alat kontrol sosial dalam melakukan interaksi sehari-hari antar masyarakat.

Pintu utama rumah yang tingginya selalu lebih rendah dari ketinggian orang dewasa, sekitar 120-150 cm, sehingga setiap orang yang masuk ke Rumoh Aceh harus menunduk, mengandung pesan bahwa setiap orang yang masuk ke Rumoh Aceh, tidak peduli betapa tinggi derajat atau kedudukannya, harus menunduk sebagai tanda hormat kepada yang punya rumah. Namun, begitu masuk, kita akan merasakan ruang yang sangat lapang karena di dalam rumah tak ada perabot berupa kursi atau meja. Semua orang duduk bersila di atas lantai. Ada juga yang menganggap bahwa pintu Rumoh Aceh diibaratkan hati orang Aceh. Memang sulit untuk memasukinya, tetapi begitu kita masuk akan diterima dengan lapang dada dan hangat.

Pelaksanaan upacara baik ketika hendak mendirikan rumah, sedang mendirikan, dan setelah mendirikan rumah bukan untuk memamerkan kekayaan tetapi merupakan ungkapan saling menghormati sesama makhluk Tuhan dan juga sebagai bentuk ungkapan syukur atas rizqi yang telah diberikan oleh Tuhan.

Dengan mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam Rumoh Aceh, maka kita akan mampu memahami dan menghargai beragam khazanah yang terkandung di dalamnya. Bisa saja, karena perubahan zaman, arsitektur Rumoh Aceh berubah, tetapi dengan memahami dan memberikan pemaknaan baru terhadap simbol-simbol yang digunakan, maka nilai-nilai yang hendak disampaikan oleh para pendahulu dapat terjaga dan tetap sesuai dengan zamannya.

Share