Indah dan glamor, itulah kesan pertama yang tertangkap saat menyaksikan pajangan batik di Rumah Batik Aceh yang berada di Desa Meunasah Manyang, Aceh Besar. Ternyata tidak hanya Pulau Jawa yang identik dengan pakaian tradisional Indonesia ini, tetapi Provinsi Aceh juga mempunyai potensi yang tidak kalah dalam menghasilkan busana yang istilahnya diambil dari Bahasa Jawa “amba” yang berarti menulis dan “titik”. Corak dan variasi batik Aceh jelas berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Rata-rata batik Aceh menampilkan unsur alam dan budaya dalam paduan warna-warna berani seperti merah, hijau, kuning, merah muda, dan sebagainya. Keberanian memainkan warna itulah yang memberikan kesan glamor. Motif yang digunakan dalam batik Aceh mengandung makna falsafah hidup masyarakatnya. Motif pintu misalnya, menunjukkan ukuran tinggi pintu yang rendah yang melambangkan kepribadian orang Aceh. Rumah adat Aceh memang berpintu rendah, namun di dalamnya memiliki ruangan yang lapang. Ciri khas itu menandakan bahwa rakyat Aceh memiliki tabiat dan adat-istiadat yang tidak mudah terbuka dengan orang asing, tetapi akan menjadi sangat baik bahkan bagaikan saudara kandung bila sudah saling mengenal. Motif tolak angin menjadi perlambang banyaknya ventilasi udara di setiap rumah adat. Motif itu mengandung arti bahwa masyarakat Aceh cenderung mudah menerima perbedaan. Sedangkan motif bunga jeumpa-bunga kantil-diambil karena banyak terdapat di Aceh dan bentuknya sangat indah. Kuatnya pengaruh Islam juga turut mewarnai motif-motif batik. Di antaranya ragam hias berbentuk sulur, melingkar, dan garis.

Selain itu ada juga motif Rencong yang merupakan senjata khas Aceh. Awan berarak dari Kutacane, Motif Gayo berupa garis-garis dengan titik di tengahnya, ungkap Khadijah, salah satu pengrajin di Rumah Batik tersebut.

Terlepas dari motif, penerapan padu padan batik dalam busana perempuan Aceh diwarnai dengan model celana panjang longgar. Hal itu menurut Khadijah menunjukkan persamaan derajat antara pria dan wanita.

Industri yang dikelola Dewan Kesenian Nasional (Dekranas) Aceh ini telah mengadakan pelatihan yang diikuti 30 peserta (17 perempuan dan 13 laki-laki) dari seluruh Aceh untuk membuat dan meningkatkan kualitas batik Aceh pada Mei-Juli 2007 silam. Pelatihnya didatangkan dari Pekalongan dan Cirebon, imbuh Khadijah.

Dalam kurun waktu sebulan, pengrajin batik Aceh ini telah mampu menghasilkan 200 potong kain batik yang masih dipasarkan di dalam Provinsi Aceh yang kerap dikunjungi oleh berbagai pihak yang berasal dari dan luar Aceh seperti di Bandara Sultan Iskandar Muda, Hermes Palace Hotel, Dekranas Aceh, dan Rumah Batik. Sedangkan untuk promosi ke luar Aceh pemerintah selalu mengikutsertakan batik Aceh dalam pameran-pameran nasional, papar wanita itu.

Harga batik Aceh pun bervariasi, tergantung jenis kain dan kombinasi warna yang digunakan. Untuk kain katun dengan satu kombinasi warna harganya sekitar Rp. 200.000.

Selain itu, Ketua PKK Aceh Darwati A. Gani mengatakan bahwa dalam kurun waktu 1,5 tahun, batik Aceh sudah berkembang sedemikian bagus. Sekarang ini banyak yang menggunakan produk batik Aceh, sebut Darwati.

Istri Irwandi Yusuf ini menyebutkan untuk lebih memperkenalkan batik motif Aceh kepada publik, pihaknya menganjurkan kepada pegawai pemerintahan untuk memakai batik Aceh saat bekerja. Pegawai dinas-dinas perlu memakai batik, satu hari dalam seminggu, sehingga batik Aceh dipakai masyarakat dan menjadi kebanggaan kita bersama, harapnya serius.

Share