Hikayat Malem Dagang adalah syair kepahlawanan Aceh. Isinya mengisahkan penyerangan Sultan Aceh Iskandar Muda terhadap Portugis yang berkuasa di Malaka. Kerajaan Malaka di taklukkan Portugis pada tahun 1511 M. Sultan Malaka dan keturunannya menyingkir dan mendirikan kerajaan Johor. Sekarang, Malaka dan Johor, keduanya merupakan dua negara bagian/provinsi di Malaysia.
Penyerangan Aceh terhadap Portugis di Malaka adalah kenyataan sejarah, baik sebelum masa Sultan Iskandar Muda maupun di saat beliau berkuasa. Dalam disertasi sejarawan Perancis, Denys Lombard, yang telah di terjemahkan, disebutkan bahwa “Kerajaan Aceh-zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), juga memuat daftar penyerangan Aceh ke Malaka, yaitu pada tahun: 1537, 1547, 1568, 1573, 1575, 1582, 1587 dan 1606”. Pada tahun-tahun itu, Portugis menyerang Aceh. Benteng-benteng mereka masih bersisa di Krueng Raya. Selanjutnya, tahun 1613-1615, Aceh menyerang Johor, karena membantu Portugis. Kemudian, tahun 1617, Aceh menyerang Pahang, karena bersekutu dengan Portugis. Disebutkan pula, pada tahun 1623 dan 1629 M, hal yang sama terjadi.
Fakta sejarah ini sedikit sekali disinggung dalam sumber-sumber tertulis Aceh. Di antara yang secuil itu, Hikayat Malem Daganglah satu-satunya. Sementara dalam Hikayat Prang Peringgi (artinya, Hikayat Perang Portugis), sama sekali tidak menyinggung data-data sejarahnya, kecuali semangat jihad saja.
Karena Hikayat Malem Dagang (buat selanjutnya disingkat dengan HMD) bukanlah kitab/buku sejarah, muncul lah beragam hasil analisis tentang para pelaku dalam kisah itu. Begitu pula mengenai waktu dan lokasi dalam cerita tersebut. Masalah pendapat-pendapat para pengkaji hikayat itulah yang diperbincangkan dalam tulisan ini.
Sejauh yang saya ketahui, Dr. Snouck Hurgronje adalah pengkaji paling awal mengenai HMD. Dalam bukunya yang sudah diterjemahkan, “Aceh di Mata Kolonialis, jilid II”, Snouck Hurgronje mengatakan HMD disusun tidak lama setelah peristiwa itu terjadi, yakni masih di abad ke 17 M. Agaknya, naskah yang dikaji Snouck merupakan salinan ulang yang oleh penyalinnya telah disesuaikan isinya dengan kondisi Aceh saat itu. Kata Snouck: di seluruh hikayat disebutkan bahwa Raja Si Ujud yang dilawan Sultan Iskandar Muda adalah raja Belanda.
Pengkaji kedua juga bangsa Belanda, yakni DR. H.K.J. Cowan, dengan bukunya, “De Hikajat Malem Dagang”, diterbitkan tahun 1933. Cowan menegaskan bahwa HMD dikarang pada abad ke 17. Nampaknya, naskah yang dikaji Cowan lebih tua sehingga “Raja Si Ujud sebagai raja Belanda belum dijumpai di dalam naskah itu”.
Tahun 2006, naskah HMD yang dimuat dalam buku “De Hikajat Malem Dagang” telah saya salin ke huruf Latin ejaan EYD, yang sebelumnya dalam ejaan Belanda. Tetapi, sampai hari ini hasil transliterasi saya itu belum diterbitkan. Penulisan oleh H.K.J. Cowan akan buku ini terkesan amat serius sehingga semua isi hikayat yang dalam bahasa Aceh telah diterjemahkan ke bahasa Belanda, di samping pembahasan isinya yang panjang lebar pula.
Sebelumnya, Prof. A. Hasjmy, yang memperkenalkan kembali HMD secara lebih meluas. Dengan merujuk dua buku Sejarah Johor dan Sejarah Pahang Karya Haji Buyung Adil yang diterbitkan di Malaysia, Hasjmy berkali-kali menulis tentang HMD. Di antara karyanya yang telah dimuat dalam berbagai buku/makalah ialah dalam “Seulawah, Antologi Sastra Aceh-Sekilas Pintas” halaman 524-541, terbitan Yayasan Nusantara tahun 1995.
Berbeda dengan dua pengkaji bangsa Belanda sebelumnya, Hasjmy berpendapat HMD dikarang Teungku Ismail bin Ya’kub alias Teungku Chik Pante Geulima pada tahun 1309 H. Pada penutup HMD dalam buku “De Hikajat Malem Dagang” yang ditulis/disalin Cowan, memang tercantum tahun 1309 H, tetapi saya lebih yakin tahun itu adalah tahun penyalinan ulang. Menyimak gaya penulisannya, maka saat penyusunan pertama HMD lebih tua dari tahun itu.
Mengenai asal nama Raja Si Ujud, Hasjmy menulis: Dalam sejarah Aceh, beliaulah yang dimaksud dengan “Raja Si Ujud”, mungkin sekali berasal dari “Raja Selayut”… karena pernah tinggal di Selayut. Menurut saya, nama Raja Si Ujud, Raja Raden dan Putroe Beureuhut-isteri Si Ujud adalah nama-nama khayalan si pengarang HMD. Dalam bahasa Arab, “Wujud” artinya ada. Karena “raja” Portugis di Malaka tidak dikenal lagi, maka disebut saja “Raja itu memang ada alias Raja Si Ujud”. Begitu pula dengan Raja Raden. Akibat nama abang Raja Si Ujud tidak diketahui yang sebenarnya, maka digantikan saja dengan Raja Raden, suatu gelar kehormatan karena Raja Raden memihak Aceh, yakni gelar seorang bangsawan.
Sementara nama Putroe Beurehut, malah diberi nama yang menjelekkan. Beureuhut adalah lobang neraka di dunia. Mon Beureuhut (sumur beruhut), menurut kitab Tambeh/nadham Aceh terdapat di wilayah Syam/Irak.
Menurut data-data sejarah, Raja Sebrang kawin dengan saudara perempuan Sultan Iskandar Muda. Sejak itu, ia diharapkan menjadi teman dalam membantu Aceh melawan Portugis. Akan tetapi, ketika Sultan pulang kembali ke Johor (1614), ia telah dengan giat melakukan perundingan lagi dengan Portugis. Tindakan yang kedua kalinya itu tidak memuaskan orang-orang Aceh. Sebab itulah, pada ekspedisi Aceh yang kedua, ia ditangkap kembali, lalu dibawa ke Aceh dan dibunuh di sana.
Adalah penting untuk menyelidiki ekspedisi kedua ini secara lebih cermat. Armada Aceh mendapati Johor telah ditinggalkan penduduknya. Dalam perjalanan pulang bertemu dengan armada Portugis di bawah pimpinan Miranda dan Mendoca, yang datang dari Malaka untuk membantu Johor tetapi dipukul mundur. Pertempuran ini di identifikasi oleh Hoesein Djajadiningrat sebagai pertempuran yang disebutkan dalam Boetanus-Salatin, yaitu pertempuran di Baning. Pada kesempatan itu, Sultan ditangkap kembali dan dibawa ke Aceh.
Jika data-data ini dibandingkan dengan cerita dari Hikayat Malem Dagang, ternyata ditemukan kesamaan. Dalam syair hikayat disebutkan kedatangan dua raja bersaudara ke Aceh, yang antara lain bergelar sebagai raja-raja Johor. Menurut data-data historis, demikian juga. Bahwa kedatangan mereka ke Aceh tidak sepenuhnya secara sukarela. Dalam kedua versi itu disebutkan bahwa salah satu dari mereka kawin dengan adik perempuan Sultan Iskandar Muda. Satunya lagi pulang kembali ke Johor, yang selanjutnya setelah banyak melakukan tindakan yang kurang berkenaan bagi orang-orang Aceh, ia ditangkap oleh ekspedisi dan dibunuh.
Penulis syair hikayat hanya mengatakan bahwa Raja Raden pada suatu hari datang dan di ikuti oleh saudara laki-lakinya, yaitu Si Ujud. Hanya beberapa bait yang memberikan episode ini, yang menceritakan bahwa Raja Raden datang untuk memeluk agama Islam. Tidak ada penjelasan lebih jauh bahwa ia berangkat ke Aceh dengan keperluan khusus. Bisa diperkirakan maksud kedatangannya yang sesungguhnya dirahasiakan, sehubungan dengan perkawinannya dengan keluarga Sultan Aceh. Kedua raja itu dalam kenyataan sesungguhnya bukan kafir, tetapi hanya melakukan persekutuan antara Johor dengan Portugis.
Demikian juga pengembaran orang Aceh tidak benar, antara syair dengan kenyataan adalah berbeda. Pada satu sisi perundingan-perundingan berlangsung di Aceh sebelum kembali ke Johor, sedangkan pada sisi yang lain perundingan-perundingan terjadi di Johor sesudah kepulangan ke Johor itu. Akan tetapi, tidak boleh diabaikan bahwa dalam syair kepahlawanan yang setengah lagendaris itu, kenyataan-kenyataan historis telah kehilangan bentuk yang seharusnya.

Share